Contoh Studi kasus PPG (Guru Kelas) : Penilaian

 



1. Masalah

Sebagai guru kelas 1 di SD Negeri Generasi Emas, saya menyadari bahwa proses penilaian yang saya lakukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan, terutama dalam menilai kemampuan dasar siswa seperti membaca, menulis, dan berbicara. Di awal semester, saya hanya mengandalkan penilaian tertulis berupa soal isian dan pilihan ganda sederhana untuk mengukur kemampuan siswa. Padahal, tidak semua siswa kelas 1 sudah lancar membaca instruksi soal, apalagi menuliskan jawaban secara mandiri.

Akibatnya, banyak siswa yang mendapatkan hasil rendah bukan karena tidak memahami materi, tetapi karena belum mampu mengerjakan soal tertulis secara mandiri. Bahkan, beberapa siswa hanya menebak jawaban atau meminta bantuan teman. Hal ini membuat penilaian yang saya lakukan tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya, dan kurang memberikan informasi yang akurat tentang perkembangan siswa.

Saya juga menyadari bahwa saya jarang melakukan penilaian sikap dan keterampilan secara sistematis, padahal aspek-aspek tersebut sangat penting di fase awal pendidikan. Keseluruhan proses penilaian saya masih terlalu berfokus pada hasil akhir, bukan proses belajar yang dialami siswa.


2. Solusi dari Masalah

Setelah melakukan refleksi dan mempelajari kembali prinsip-prinsip asesmen di jenjang sekolah dasar, saya mulai memperbaiki pendekatan penilaian yang saya gunakan dengan cara berikut:

Menggunakan penilaian autentik, yaitu mengamati proses belajar siswa secara langsung melalui kegiatan membaca nyaring, menulis kalimat pendek, dan menyusun kata dari kartu huruf.

Membuat rubrik penilaian sederhana untuk aspek keterampilan membaca dan menulis, dengan kriteria seperti: "melafalkan huruf dengan benar", "menyusun kata dengan tepat", "menulis kalimat dengan ejaan yang benar".

Menerapkan penilaian lisan, terutama untuk mengukur pemahaman siswa terhadap bacaan. Saya ajukan pertanyaan langsung dan mencatat respon siswa secara sistematis.

Mendokumentasikan hasil kerja siswa dalam portofolio, seperti lembar menulis harian dan gambar yang mereka buat sebagai bagian dari kegiatan literasi.

Melibatkan siswa dalam refleksi sederhana, dengan menanyakan apa yang mereka pelajari hari ini, kesulitan apa yang mereka hadapi, dan bagian mana yang mereka sukai dari pembelajaran.

Menggunakan observasi dan catatan anekdot sebagai bagian dari penilaian sikap, seperti keaktifan, keberanian berbicara, kerjasama dalam kelompok, dan kerapian dalam menulis.


Saya juga belajar menggunakan penilaian formatif untuk memberi umpan balik langsung, bukan sekadar mengumpulkan nilai akhir. Setiap penilaian saya jadikan dasar untuk menyusun kegiatan remidi atau pengayaan.


3. Dampak

Setelah menerapkan perubahan strategi penilaian, saya melihat beberapa dampak positif yang signifikan:

Penilaian menjadi lebih adil dan inklusif. Siswa yang belum lancar membaca tidak lagi merasa tertinggal karena dinilai melalui cara yang sesuai dengan kemampuan mereka saat ini.

Data penilaian lebih akurat, karena saya bisa melihat kemampuan siswa secara utuh, baik dari segi kognitif, afektif, maupun keterampilan.

Perkembangan siswa lebih terpantau, karena saya memiliki dokumentasi proses belajar mereka, bukan hanya nilai angka.

Siswa menjadi lebih percaya diri, karena mereka mendapatkan kesempatan menunjukkan kemampuan secara lisan maupun praktik, tidak hanya dalam bentuk tertulis.

Orang tua lebih memahami kemajuan anaknya, karena saya bisa menyampaikan laporan perkembangan yang berbasis data konkret, bukan hanya berdasarkan angka ujian.



4. Pembelajaran Bermakna

Pengalaman ini memberi saya pemahaman bahwa penilaian bukan sekadar proses mengumpulkan angka, tetapi bagian penting dari proses pembelajaran itu sendiri. Di kelas 1 SD, pendekatan penilaian harus lebih bersifat humanis, kontekstual, dan memperhatikan proses, karena setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda.

Saya belajar bahwa penilaian harus berfungsi sebagai alat untuk membantu siswa berkembang, bukan untuk menghakimi. Ketika penilaian dilakukan dengan cara yang sesuai perkembangan usia, siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk belajar lebih baik.

Refleksi ini memperkuat komitmen saya untuk selalu mengembangkan penilaian yang otentik, menyeluruh, dan berdampak langsung pada perbaikan pembelajaran, sehingga Bahasa Indonesia tidak hanya dipahami, tetapi juga dinikmati oleh siswa secara menyeluruh