(9.1) Fiqih : Hukum Zakat

 





Pendahuluan

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam membangun keseimbangan sosial dan ekonomi. Melalui zakat, umat Islam diajak untuk saling berbagi dan membantu mereka yang kurang mampu, sehingga tercipta masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Modul ini secara khusus membahas empat jenis zakat yang sering menjadi bahan diskusi dalam kajian fikih kontemporer, yaitu zakat tanah yang disewakan, zakat profesi, zakat produktif, dan penggunaan zakat untuk pembangunan masjid. Dengan memahami konsep, dalil, serta pandangan ulama terkait, diharapkan umat Islam mampu mengelola zakat dengan cara yang relevan dengan konteks zaman.



Zakat Tanah yang Disewakan

Definisi dan Konsep Dasar

Zakat tanah yang disewakan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil tanah yang dimanfaatkan oleh pihak lain melalui akad sewa. Dalam Islam, tanah dianggap sebagai sumber daya penting yang bisa mendatangkan manfaat ekonomi, sehingga hasilnya juga memiliki kewajiban untuk dizakati.


Zakat ini mencakup dua jenis pemanfaatan:


Hasil Pertanian: Jika tanah digunakan untuk pertanian, zakat dihitung dari hasil panen dengan nisab 5% hingga 10%, tergantung metode pengairannya.

Pendapatan Sewa: Jika tanah disewakan untuk kegiatan non-pertanian (misalnya disewakan ke perusahaan), zakat dikenakan sebesar 2,5% dari penghasilan bersih, dengan syarat mencapai nisab (85 gram emas) dan haul (satu tahun).


Perbedaan Pendapat Ulama

Dalam menentukan siapa yang wajib membayar zakat, para ulama memiliki beberapa pandangan:


Pendapat Pertama: Penyewa tanah wajib membayar zakat karena ia mendapatkan manfaat langsung dari hasil tanah tersebut.

Pendapat Kedua: Pemilik tanah wajib membayar zakat karena tanah adalah sumber utama yang menghasilkan pendapatan.

Pendekatan Moderat: Beberapa ulama menyarankan agar kewajiban zakat dapat dibagi antara pemilik tanah dan penyewa berdasarkan kesepakatan.


Solusi dan Praktik Moderat

Pendekatan moderat menekankan keadilan dalam pengelolaan zakat tanah yang disewakan. Misalnya, jika tanah menghasilkan keuntungan dari panen, penyewa wajib mengeluarkan zakat dari hasil panennya, sedangkan pemilik tanah juga dapat berzakat dari uang sewanya. Dengan cara ini, keduanya berkontribusi dalam mengelola zakat sesuai dengan syariat.



Zakat Profesi

Pengertian dan Landasan Hukum

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan atau profesi tertentu, seperti dokter, insinyur, pengacara, dosen, guru, artis, atau pekerja lepas lainnya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqhuz Zakah, dengan mendasarkan hukumnya pada keumuman ayat Al-Qur’an, seperti QS. Al-Baqarah: 267, yang menyebutkan perintah untuk menginfakkan sebagian hasil usaha yang baik.


Ketentuan Nisab dan Tarif Zakat


Nisab zakat profesi ditetapkan senilai 85 gram emas, atau setara dengan zakat perdagangan.

Tarif zakat profesi adalah 2,5% dari penghasilan bersih setelah dikurangi kebutuhan pokok, seperti biaya hidup keluarga dan operasional kerja.

Zakat ini dapat dikeluarkan setiap bulan (saat menerima gaji atau honorarium) atau dikumpulkan selama satu tahun.


Perbedaan Pendapat Ulama

Beberapa ulama berbeda pendapat dalam menetapkan dasar hukum zakat profesi:


Zakat Pertanian: Sebagian ulama menyamakan zakat profesi dengan zakat pertanian, dengan tarif 5% hingga 10%.

Zakat Rikaz (Barang Temuan): Pendapat lain menyatakan bahwa zakat profesi dapat dikenakan tarif 20%, seperti zakat rikaz, tanpa memerlukan syarat haul atau nisab.

Zakat Perdagangan: Mayoritas ulama sepakat bahwa zakat profesi lebih relevan disamakan dengan zakat perdagangan, yaitu 2,5%.


Contoh Perhitungan Zakat Profesi

Jika seseorang memiliki penghasilan bersih Rp3.050.000 per bulan setelah dikurangi kebutuhan pokok, maka zakat profesinya adalah 2,5% x Rp3.050.000 = Rp76.250 per bulan, atau sekitar Rp915.000 per tahun. Sistem ini membuat zakat profesi terasa ringan dan dapat dikelola secara rutin.



Zakat Produktif

Konsep Dasar

Zakat produktif adalah pendekatan inovatif dalam pendistribusian zakat, di mana dana zakat tidak hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mustahiq, tetapi juga digunakan sebagai modal usaha. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan mustahiq agar dapat mandiri secara ekonomi dan bahkan bertransformasi menjadi muzakki (pembayar zakat).


Tujuan dan Manfaat Zakat Produktif


Meningkatkan taraf hidup mustahiq melalui pemberian modal usaha.

Mengurangi ketergantungan penerima zakat terhadap bantuan.

Memberikan dampak sosial yang positif, seperti menciptakan lapangan kerja baru.


Strategi dan Implementasi

Pengelolaan zakat produktif memerlukan pendekatan yang terencana, seperti:


Memberikan modal usaha dalam bentuk uang tunai atau barang produktif (misalnya alat kerja, mesin, atau hewan ternak).

Menyediakan pelatihan keterampilan kepada mustahiq untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola usaha.

Mengawasi penggunaan dana zakat agar benar-benar digunakan untuk keperluan produktif.


Hikmah Zakat Produktif

Zakat produktif mendorong perubahan pola pikir dari konsumtif menjadi kreatif. Mustahiq didorong untuk memanfaatkan potensi mereka, baik keterampilan, tenaga, maupun ilmu, sehingga mampu keluar dari kemiskinan. Dengan demikian, zakat produktif menjadi alat strategis untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



Penggunaan Zakat untuk Pembangunan Masjid

Permasalahan dan Perdebatan

Penggunaan zakat untuk pembangunan masjid sering menjadi perdebatan karena masjid tidak secara eksplisit disebutkan sebagai kelompok mustahiq dalam QS. At-Taubah: 60. Namun, beberapa ulama memasukkan pembangunan masjid ke dalam kategori fi sabilillah (di jalan Allah), yang mencakup semua hal yang mendukung kemaslahatan umat.


Pandangan Ulama


Pro:

Yusuf Qardhawi, Mahmud Syaltut, dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa zakat boleh digunakan untuk pembangunan masjid jika masjid tersebut memiliki peran strategis, seperti sebagai pusat pendidikan, dakwah, atau kegiatan sosial.

Masjid yang tidak mencukupi daya tampung jamaah atau masjid yang satu-satunya di suatu wilayah juga dapat dibiayai dari zakat.

Kontra:

Pendapat lain menyatakan bahwa zakat seharusnya hanya diberikan kepada delapan kelompok mustahiq yang disebutkan dalam Al-Qur’an.


Pendekatan Moderat

Fatwa MUI 2015 mendukung penggunaan zakat untuk keperluan masyarakat yang mendesak, seperti pembangunan masjid, sanitasi, atau sarana pendidikan, selama tujuan utamanya adalah untuk kemaslahatan umum. Pendekatan ini memastikan penggunaan zakat tetap relevan dengan kebutuhan umat.



Nilai-Nilai Moderasi dalam Pengelolaan Zakat

Islam menekankan pentingnya moderasi (wasathiyah) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk pengelolaan zakat. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai aspek pengelolaan zakat:


Qudwah (Keteladanan): Muzakki memberikan contoh dalam pengelolaan harta yang amanah dan sesuai syariat, seperti menyisihkan zakat untuk kepentingan umum.

Tawassuth (Keseimbangan): Distribusi zakat diatur dengan seimbang antara kebutuhan konsumtif dan produktif, sehingga semua kelompok mustahiq terlayani secara adil.

Muwathanah (Cinta Tanah Air): Zakat bukan hanya ibadah personal, tetapi juga kontribusi nyata dalam pembangunan masyarakat dan negara.



Refleksi dan Hikmah

Zakat adalah salah satu cara untuk mensucikan harta, memperbaiki hubungan sosial, dan menciptakan masyarakat yang harmonis. Dalam konteks modern, zakat juga menjadi alat penting untuk memberdayakan ekonomi umat Islam. Dengan berzakat, seorang Muslim tidak hanya memenuhi kewajibannya kepada Allah, tetapi juga membantu meringankan beban orang lain.


ORDER VIA CHAT

Produk : (9.1) Fiqih : Hukum Zakat

Harga :

https://www.abufariz.com/2024/11/91-fiqih-hukum-zakat.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi