Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul

 Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul






BAB I

PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG

Ajaran  Islam  yang  bersifat  universal  harus  bisa  diterapkan dalam  kehidupan individu,  masyarakat,  berbangsa  dan  bernegara  secara  maksimal.  Penerapan  tersebut tentu terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban kita sebagai seseorang hamba kepada Allah SWT, rasul-Nya,  manusia  dan  lingkungannya.  Khusus  penerapan  akhlak  (  hak  dan  kewajiban  ) seorang  hamba  kepada  Allah  terlihat  dari  pengetahuan,  sikap,  perilaku  dan  gaya hidup yang  dipenuhi dengan  kesadaran  tauhid  kepada  Allah  SWT,  Hal  itu  bisa dibuktikan  dengan  berbagai  perbuatan  amal  Shaleh,  ketakwaan,  ketaatan  dan  ibadah kepada  Allah  SWT  secara  ikhlas. Untuk  itulah  dalam  menata  kehidupan,  diperlukan norma  dan  nilai,  diperlukan  standar  dan  ukuran  untuk  menentukan  secara  obyektif apakah  perbuatan  dan  tindakan  yang  dipilih  itu  baik  atau  tidak,  benar  atau  salah, sehingga yang dilihat bukan hanya kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan orang  lain,  kepentingan  bersama,  kepentingan  umat  manusia  secara  keseluruhan.  Dan untuk  itulah  setiap  individu  dituntut  memiliki  komitmen  moral,  yaitu  spiritual  pada norma kebajikan dan kebaikan. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kita sebagai hamba memiliki pengetahuan bagaimana cara menerapkan Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Kata “akhlak“, artinya telah berbuat, menciptakan, atau mengambil keputusan untuk  bertindak.  Secara ter monologis,  akhlak  adalah  tindakan  yang  tercermin  pada akhlak  Allah  SWT,  yang  salah  satunya  dinyatakan  sebagai  pencipta  manusia  dari segumpal darah;  Allah SWT Sebagai sumber pengetahuan yang melahirkan kecerdasan manusia,  pembebasan  dari  kebodohan,  serta  peletak  dasar  yang  paling  utama  dalam pendidikan. Selanjutnya istilah   akhlak   sudah   sangat   akrab   di   tengah   kehidupan   kita, mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak“ karena perkataan akhlak selalu  dikaitkan  dengan  tingkah  laku  manusia.  Akan  tetapi,  agar  lebih  jelas  dan meyakinkan, kata “akhlak” masih  perlu  untuk  diartikan  secara  bahasa  maupun  istilah. Dengan  demikian,  pemahaman  terhadap  kata “ akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosofis, terutama makna subtansialnya. Kata “akhlak” berasal  dari bahasa Arab, yaitu Jama’ dari kata “khuluqun” yang secara  linguistik  diartikan  dengan  budi  pekerti,  perangai,  tingkah  laku  atau  tabiat,  tata krama,  sopan  santun,  adab,  dan  tindakan.  Kata    akhlak    juga  berasal  dari  kata “khlaqa“ atau “khalqun“,artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq“, artinya  menciptakan,  tindakan  atau  perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-Khaliq“,artinya pencipta atau dan “makhluq“, artinya yang diciptakan.

 

Konsep  akhlak  dalam  Al-Qur’an,  salah  satunya  dapat  diambil  dari  pemahaman terhadap surat Al-Alaq ayat 1-5 :

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ  ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ  ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ  ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ  ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ  ٥

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,  Yang mengajar (manusia) dengan pena.  Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

 

Ayat diatas secara tekstual menyatakan perbuatan Allah SWT dalam   menciptakan   manusia   sekaligus   membebaskan   manusia   dari   kebodohan.

 

Menurut Ibn Miskawaih (w.421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak  terkemuka  mengatakan  bahwa  akhlak  adalah  sifat yang tertanam  dalam  jiwa yang  mendorongnya  untuk  melakukan  perbuatan  tanpa  memerlukan  pemikiran  dan pertimbangan. Sementara  Imam  Al-Ghazali  (1015-1111  M), yang dikenal  sebagai hujjatul  Islam (pembela  Islam)  karena  kepiawaiannya  dalam  membela  Islam  dari berbagai  paham  yang  dianggap  menyesatkan. lebih luas, mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan    dengan    gamblang    dan    mudah,    tanpa    memerlukan    pemikiran dan pertimbangan.[1]

 

Sedangkan menurut Barmawi Umar bahwa pertama, ilmu  akhlak berfungsi untuk mengetahui  batas  antara  baik dan  buruk, dapat  pula  menempatkan  sesuatu  pada tempatnya,   yaitu   menempatkan   sesuatu   pada   proporsi   yang   sebenarnya. Kedua, berakhlak dapat memperoleh irsyad, taufiq dan hidayah, sedemikian sehingga kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam  agama Islam kita dapat mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam penerapan Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab’ ayat 21 :

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  ٢١

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

 

B.     TUJUAN DAN MANFAAT

Tujuan dan manfaat kita mempelajari Akhlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya diantaranya adalah :

1.             Melaksanakan kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT.

2.             Menambah keimanan kita kepada Alah SWT dan Rasul-Nya

3.             Dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

4.              Memberikan panduan kepada kita dalam melakukan setiap perbuatan di dunia

5.              Membersihkan  kalbu dari  kotoran hawa nafsu, dosa  dan maksiat,   sehingga   menjadi   suci   bersih.   manusia   memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melaluifiqih,   sedangkan   rohani   dibersihkan   secara   batiniah   melalui akhlak.

 

 

C.    RUANG LINGKUP

Penerapan Akhlak kepada Allah dan Rasulnya sudah sangat wajib kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam makalah ini penulis akan berfokus pada :

1.      Akhlak kepada Allah SWT meliputi :

a.       Tawakkal

b.      Syukur

c.       Haya

d.      Taubat

e.       Berzikir, dan

f.        Berdo’a

2.      Akhlak kepada Rasul-Nya meliputi :

a.       Taat kepada Rasul,

b.      Menghidupkan sunnah,

c.       Membaca Sholawat,

d.      Mencintai rasulullah

BAB II

PEMBAHASAN

A.           AKHLAQ KEPADA ALLAH SWT

1.      TAWAKKAL

Dalam kamus   Al-Munawwir,  disebut  ل  على  ﷲّ توك  (bertawakal, pasrah kepada Allah)[2].  Dalam Kamus  Arab  Indonesia  karya  Mahmud  Yunus, ل  على  ﷲّ توك -  ل توك  (menyerahkan  diri,  tawakkal  kepada  Allah SWT)[3].  Dalam Kamus  Umum  Bahasa  Indonesia,  tawakal  berarti  berserah (kepada  kehendak  Tuhan),  dengan  segenap  hati  percaya  kepada  Tuhan terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain[4]. Dalam Kamus  Besar  Bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah dan percaya sepenuh  hati  kepada  Allah SWT.

 

Menurut  ajaran  Islam,  tawakal  itu  adalah  landasan  atau  tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan. Lalu berserah diri kepada Allah setelah  menjalankan  ikhtiar.  Itulah  sebabnya  meskipun  tawakal  diartikan sebagai penyerahan diri atau ikhtiar sepenuhnya kepada Allah SWT, namun tidak berarti orang  yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha  dan ikhtiar. Sangat keliru bila orang menganggap tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Allah tanpa diiringi dengan  usaha maksimal. Usaha dan ikhtiar  itu  harus  tetap  dilakukan,  sedangkan  keputusan  terakhir  diserahkan kepada Allah SWT, di dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT menegaskan:

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ  ١٥٩

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

          Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita liat beberapa ciri orang yang bersyukur, diantaranya :

a.       Mujahadah

Sebagai seorang mukmin dan muslim dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik. Salah satunya tawakal. Guna terciptanya sosialisasi yang tenteram, tenang, dan damai. Tawakal bukan hanya sekadar merasakan segala perkara kepada Allah Ta ‘ala, tetapi diawali dengan usaha-usaha ataupun jalan-jalannya yang kuat. Setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah Ta ‘ala. Di antara ciri orang yang bertawakal ialah memiliki semangat yang kuat. Mempunyai semangat yang kuat merupakan salah satu akhlak orang mukmin yang dianjurkan oleh Islam.

b.      Bersyukur

Ciri lain orang yang bertawakal ialah ia senantiasa bersyukur kepada Allah Ta'ala. Apabila ia sukses ataupun berhasil dalam segala urusan ataupun ia mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan ia tak luput untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Ta'ala, karena ia menyadari dan meyakini bahwa semua yang ia dapatkan itu adalah takdir Allah dan kehendak-Nya. Dengan bersyukur pula ia akan selalu merasa puas, senang dan bahagia.

c.       Bersabar

Ciri orang yang bertawakal selanjutnya ialah selalu bersabar. Sebagai orang mukmin yang bertawakal kepada Allah Ta'ala ia akan bersabar, baik dalam proses maupun dalam hasil. Karena dengan inilah ia akan bahagia dan tenang atas apa yang di terimanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut: "Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang terkena ujian dan cobaan dia bersabar." (HR. Ahmad dan Abu dawud)

d.      Intropeksi Diri (Muhasabah)

Orang yang bertawakal salah satu sikapnya ialah intropeksi diri. Dimana ia akan intropeksi diri apabila ia kurang sukses dalam menjalankan sesuatu ia tidak membuat dirinya "drop", melainkan ia selalu intropeksi pada diri, dapat dikatakan muhasabah. Senantiasa mengoreksi apa yang telah dilakukannya. Setelah itu ia akan berusaha menghindari faktor penyebab suatu kegagalan tersebut serta senantiasa memberikan yang terbaik pada dirinya.

 

2.      SYUKUR

Syukur berarti terima kasih kita kepada Allah SWT, dan penggakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikannya. Nikmat yang diberikan sangat banyak dan bentuknya bermacam-macam, di setiap detik yang dilalui manusia tidak pernah lepas dari nikmat Allah, nikmatnya sanggat besar. Sehingga manusia tidak akan dapat menghitungnya.

Sejak manusia lahir dengan keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian diberikan pendengaran , penglihatan dan hati damai meninggal dunia menghadap Allah di akhirat kelak dan ia tidak akan lepas dari nikmat Allah. Sementara balasan yang dijanjikan Allah SWT apabila hambanya mensyukuri nikmat-Nya, adalah kenikmatannya akan ditambah dan dilipat gandakan nikmat – nikmatnya yang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al – Quran Surah Ibrahim ayat 7:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ  ٧

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Bersyukurlah kepada-Ku niscaya akan aku tambah nikmatnya, tapi jika tidak bersyukur sesungguhnya azabku teramat pedih."

 

Orang yang selalu bersyukur ia akan selalu mengingat Allah SWT dalam berdiri, duduk, sampai dalam keadaan tertidur, dari bangun tidur sampai tidur lagi ia akan selalu berzikir, dan tidurnya pun untuk mengumpulkan energi untuk bersyukur atas nikmat Allah SWT. Inilah hakikat syukur dari hati, akal, lisan dan jasad sebenarnya.

 

3.      HAYA

Haya atau malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[5] Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Perasaan malu didalam hati dikala akan melanggar larangan agama, malu kepada tuhan bahwa jika ia mengerjakan kekejian akan mendapat siksa yang pedih. perasaan ini menjadi pembimbing jalan menuju keselamatan hidup, perintis mencapai kebenaran dan alat yang menghalangi terlaksananya perbuatan yang rendah. Orang yang memiliki sifat ini, semua anggotanya dan gerak geriknya akan senantiasa terjaga dari hawa nafsu, karna setiap ia akan mengerjakan perbuatan yang rendah, ia tertegun, tertahan dan akhirnya tiada jadi, karna desakan malunya, takut mendapat nama yang buruk, takut menerima siksaan Allah swt kelak di akhirat. Tetapi janganlah malu itu hanya kepada manusia saja, maka berbuat yang baik kalau diketahui manusia tetapi kalau ditempati sunyi ia berbuat buruk sebab orang tiada melihat. Maka hendaknya malu terhadap makhluk, juga lebih-lebih lagi malu terhadap sang pencipta.

Sebagai seorang muslim, kita harus memiliki rasa malu ini, karena malu ini memiliki keutamaan, diantaranya :

a)      Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.

b)      Malu adalah cabang keimanan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan”.

c)      Allah SWT  cinta kepada orang-orang yang malu.

d)      Malu adalah akhlak para Malaikat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[6]

e)      Malu adalah akhlak Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu”.[7]

f)       Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.


 

4.      TAUBAT

Taubat secara epistemologi (bahasa), taubat berasal dari kata kerja (taaba)  yang  terbentuk  dari  huruf  (ta),  (wau)  dan  (ba),  menjadi  (tawaba), makna kata ini berkisar kepada pulang kembali, dan penyesalan.[8] Sedangkan menurut   istilah   agama   dijumpai   beragam   pengertian   yang   prinsipnya bermuara   pada   satu   makna,   yaitu   kembali pada   ajaran   agama Islam, Muhammad bin Ka’b Al-Qarzhi berkata, ”tobat itu diungkapkan oleh empat hal, yaitu beristigfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati tidak mengulanginya kembali serta meninggalkan sahabat-sahabat yang buruk.[9]

Taubat adalah penyesalan yang melahirkan kesungguhan tekad dan niat  untuk  kembali  dari  kemaksiatan  kepada  ketaatan.  Hakikatnya  adalah menyesali   dimasa   lalu,   dan   meninggalkannya   dimasa   sekarang,   serta bertekad untuk bersungguh-sungguh tidak mengulanginya kembali dimasa mendatang.  Ketiga hal  ini  terhimpun  pada  waktu  terjadinya  taubat.  Pada waktu   tersebut   dia   menyesal,   meninggalkan   dan   bersungguh-sungguh bertekad.   Saat   itu   dia   juga   kembali   pada   penghambaan   kepada   sang pencipta. Kembali ini merupakan hakikat taubat.

Taubat  adalah  langkah  awal,  langkah  tengah,  dan  langkah  akhir. Artinya, seorang  hamba  yang  menemukan  jalan  akan  senantiasa  bertaubat, tak  pernah  tinggal  sampai  dia  mati.  Dan  apabila  dia  pindah  ke tempat  lain, taubat pun ikut bersamanya dan selalu menyertainya. Jadi taubat merupakan langkah pemula bagi seseorang hamba dan juga langkah akhir.

Hakikat   taubat   adalah   kembali   kepada   Allah   swt.   disertai keteguhan  melaksanakan  apa  yang  diperintahkan  dan  meninggalkan  apa yang   dilarang.   Kembali   dari   kemaksiatan   dan   keburukan   kepada kebaikan,  dari  jalan  setan  kepada  jalan  Allah  swt.4Taubat  bukan  hanya dilakukan bagi mereka yang telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi taubat    dilakukan    manakala    telah    meninggalkan    kebaikan    yang diperintahkan merupakan suatu kewajiban. Maka taubat adalah salah satu perintah  agama  yang  harus  dilakukan  oleh  manusia.  Sebagaimana  dalam Alquran   terdapat   banyak   ayat-ayat   tentang   perintah   untuk   bertaubat, diantaranya terdapat dalam QS. at-Tahrim ayat 8 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ  ٨

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah  dengan  taubatan  nasuha  (taubat  yang  semurni-murninya).  Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesahanmu dan memasukkanmu  ke  dalam  jannah  yang mengalir  dibawahnya  sungai-sungai,  pada  hari  ketika  Allah  tidak  menghinakan  Nabi  dan  orang-orang mukmin  yang  bersama  dia  sedang  cahaya  mereka  memancar  dihadapan dan  disebelah  kanan  mereka,  sambil  mengatakan: “Ya  Rabb  kami, sempurnakanlah    bagi    kami    cahaya    kami    dan    ampunilah    kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

 

         Dalam  menjalankan  perintah  untuk  bertaubat,  manusia  harusnya mengetahui  konsep  taubat  itu  sendiri  secara  komprehensif,  karena  dalam realita kehidupan manusia, banyak terjadi pelaksanaan taubat secara tidak optimal.[10]

Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani taubat yaitu kembali dengan penyesalan   dan   keikhlasan   atas   dosa   yang   telah   kita   lakukan   serta menjauhi  dari  dosa  yang  akan  datang,  membersihkan  jiwa  dari  kotoran-kotoran  yang  berkaitan  dengan  lainnya  serta  menghiasi  taubatnya  dengan ketakwaan  yang  murni  kepada  Allah  swt.[11]Sedangkan  menurut  Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa taubat dari  seluruh  perbuatan  maksiat  adalah  wajib.  Wajib  dilakukan  dengan segera dan tidak boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”[12]Taubat  adalah  wajib  secara  langsung,  karena  meninggalkan  kemaksiatan adalah  wajib  secara  berkesinambungan dan  sebab  yang  mewajibkan taubat  adalah  agar  kita  taat,  sebab  perbuatan  dosa  menghalangi  untuk berbuat  kebaikaan,  menghilangkan  ketauhidan  serta  berkhidmat  kepada Allah  swt.  Terus  menerus  berbuat  dosa  membuat  hati  menjadi  kelam  dan keras, tidak ada kebersihan dan kejernihan, tidak akan pernah ikhlas dalam beribadah, selain itu  yang mewajibkan taubat adalah agar ibadah diterima oleh Allah swt. karena taubat merupakan inti dari dasar untuk diterimanya ibadah dan kedudukan seolah-olah hanya tambahan.[13]

 

5.      BERZIKIR

Secara etimologi, perkataan zikir berakar pada kata ذَكَرَ، يَذْكُرُ، ذِكْرًا  artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti dan ingatan. Di dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa istilah Dzikri memiliki Multi interpretasi, di antara pengertian-pengertian zikir adalah  menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, atau mengerti perbuatan baik.[14] Dalam kehidupan manusia unsur ”ingat” ini sangat dominan adanya, karena merupakan salah satu fungsi intelektual. Menurut pengertian psikologi, zikir (ingatan) sebagai suatu ”daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan memproduksi kembali pengertian atau tanggapan-tanggapan kita.”[15]

Sedangkan zikir dalam arti menyebut Nama Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wirid atau aurad. Dan amalan ini termasuk ibadah murni (mahdhah), yaitu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sebagai ibadah Mahdhah maka dzikir jenis ini terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah, yaitu harus ma’tsur (ada contoh atau perintah dari Rasulullah Saw).

Secara terminologi definisi zikir banyak sekali. Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan zikir adalah ingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, ke-Maha Sucian-Nya, ke-Maha ke-Terpujian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang bisa diungkapkan melalui ucapan Tahlil (La Ilaha illa Allah, Artinya,  Tiada Tuhan Selain Allah), Tasbih (Subhana Allah, Artinya Maha Suci Allah), Tahmid (Alhamdulillah, Artinya Segala Puji Bagi Allah), dan Takbir (Allahu Akbar, Artinya Allah Maha Besar).

Dzikir sebagai fungsi intelektual, ingatan kita akan apa yang telah dipelajari, informasi dan pengalaman sebelumnya, memungkinkan kita untuk memecahkan problem-problem baru yang kita hadapi, juga sangat membantu kita dalam melangkah maju untuk memperoleh informasi dan menerima realitas baru. Namun dalam pengertian disini, pengertian  yang dimaksud adalah ”Dzikir Allah”, atau mengingat Allah.[16]

Imam Nawawi berkata, “zikir dilakukan dengan lisan dan hati secara bersama-sama. Kalau hanya salah satu saja yang berdzikir, maka dzikir hati lebih utama. Seseorang tidak boleh meninggalkan dzikir lisan hanya karena takut riya. Berdzikirlah dengan keduanya dan niatkan hanya mencari ridha Allah semata. Suatu hari saya mengunjungi Al-Fadhil untuk menanyakan orang yang meninggalkan amal perbuatan karena takut riya dihadapan manusia. Beliau menjawab, ”kalau seseorang menyempatkan diri memperhatikan tanggapan orang lain padanya, berhati-hati atas persangkaan jelek mereka, maka pintu-pintu kebaikan tidak terbuka lebar untuknya. Ia telah menghilangkan bagian agama yang sangat vital. Ini bukan jalan yang ditempuh orang-orang bijak”.[17]

Hal ini dengan simpel dan sederhana di sampaikan syaikh Ibnu Athaillah ra. Beliau berkata : ”janganlah engkau tinggalkan dzikir semata-mata karena tidak adanya kehadiran hatimu bersama Allah di dalamnya. Sebab kelalaian hatimu (kepada Allah) tanpa adanya dzikir adalah lebih berbahaya daripada kelalaian hatimu di dalam dzikir. Barangkali Allah akan mengangkatmu dari dzikir yang lalai menuju dzikir dengan sadar, dari dzikir yang sadar menuju dzikir  yang hadir, dari dzikir yang hadir kepada dzikir dengan hilangnya selain dzikir yang di-dzikiri.” Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah”. QS:14/20.[18]

Menurut ahli tashawwuf, dzikir itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a.       Dzikir lisan atau disebut juga dzikir nafi isbat, yaitu ucapan La Ilaaha Illallah. Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari Allah dan mengisbatkan Allah. Dzikir nafi isbat ini dapat juga disebut dzikir yang nyata karena ia diucapkan dengan lisan secara nyata, baik dzikir bersama-sama maupun dzikir sendirian.

b.      Dzikir qalbu atau hati, disebut juga dzikir: Asal dan kebesaran, ucapannya Allah, Allah. Dzikir qalb ini dapat juga disebut dzikir ismu dzat karena ia langsung berdzikir dengan menyebut nama Dzat.

c.        Dzikir sir atau rahasia, disebut juga  dzikir isyarat dan nafas, yaitu berbunyi : Hu, Hu. Dzikir ini adalah makanan utama sir (rahasia). Oleh karena itu ia bersifat rahasia, maka tidaklah sanggup lidah menguraikannya, tidak ada kata-kata  yang dapat melukiskannya.[19]

 

6.      BERDO’A

Ditinjau   dari   segi   Psikologi   Islam,   doa   salah   satu   sarana bertaqarrub, memelihara   iman   dan   meningkatkan   ketakwaan   kepada   Allah.Sebagai   bentuk  penghambaan  seseorang  kepada  Tuhan-Nya dan  menyatakan  bahwa  dirinya  tiada memiliki   daya   kuasa.[20]  Manusia   dapat   mengadukan   segala   keluh   kesah   ataupun kebahagiaannya  melaluidoa,  karena doa    suatu  fitrah  manusia  yang  tidak  dapat  kita pungkiri.[21] Sebagaimana makhluk Tuhan, manusia bebas berdoa apa pun dan kapan pun. Akan  tetapi,  kebebasan  manusia  dalam  berdoakepada  Allah  inilah  yang membuat manusia lupa apa fungsi doa itu sebenarnya.[22] Dalam Islam, fungsi doa dipahami sebagai ungkapan syukur, sebagai ungkapan penyesalan,  sebagai  permohonan, dan mempunyai  peranan sangat    pentinguntuk penyembuhan, yang  dibutuhkan  oleh  setiap  orang.  Nasution  mengatakan  dilihat  darisudut   kejiwaan   (psikologi),   doa   mempunyai   pengaruh   terhadap   pengembangan rohaniah,  membuat  rohaniah  semakin  tenang  dan  kuat,  mampu  dan mempunyai  daya tahan membendung desakan-desakan keinginan jasmaniah.[23] Salah  satu  kunci  sukses  dalam  berdoa  adanya  optimisme  dalam  hati  bahwa  apa yang  diminta  akan dikabulkan  oleh  Allah  Swt. Seorang  hamba  benar-benar  meyakini bahwa  apa  yang  diminta  kepada Allah  SWT hal  yang  memang  dibutuhkannya.  Sebab pengabulan  Allah  Swt sesuai  dengan  permintaan  hamba-Nya.7Sehingga  dengan  doa, manusia  akan  selalu  merasa  memiliki  kesempatan  untuk  meraih  sesuatu.  Inilah  yang mendatangkan rasa optimisme dalam kehidupannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/1: 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ  ١٨٦

 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya  aku  adalah  dekat.  aku  mengabulkan  permohonan  orang  yang  berdoa apabila  ia  memohon  kepada-Ku, Maka  hendaklah  mereka  itu  memenuhi  (segala perintah-Ku)  dan  hendaklah  mereka  beriman  kepada-Ku,  agar  mereka  selalu  berada dalam kebenaran”

 

         Sikap optimisme sangatlah penting dalam kehidupan, karena orang yang optimis itu  selalu  berpikir  positif dalam  suatu  keadaan.  Orang  berdoa  dengan  bersikap  optimis penuh  prasangka  baik  (husnuzhan)  kepada  Allah  Swt.  Salah satu  etika  yang  harus dilakukan  dalam  berdoa  adalah  optimisme.  Islam  mengajarkan  etika  agar  meminta  dan berharap   akan   perkara-perkara   yang   besar,   seperti   penyembuhan   suatu   penyakit. Namun,  tidak  semua  harapan  diutarakan,  tetapi  meminta  agar  merasa  cukup  adalah lebih  baik.  Sederhananya,  tidak  setiap  kebutuhan  dan  harapan  layak  untuk  dijadikan permintaan  dalam  berdoa.  Begitulah  semangat  optimisme  berdoa  yang  harus dibangun sehingga   nuansa   berdoa   tidak   hilang   karena   pesimisme   atau   karena   kecilnya permintaan-permintaan  hambanya.  Orang yang optimis  mampu  melihat  kesempatan diantara  begitu  banyak  kesempitan. Sedangkan  orang yang pesimis  melihat  begitu banyak kesempitan diantara semua kesempatan.[24]

 

 


 

B.            AKHLAQ KEPADA RASUL ALLAH SWT

1.      TAAT KEPADA RASUL

Islam  mengajarkan  ketaatan  kepada  Allah  dan  Rasul-Nya.  Ada  banyak  bentuk ketaatan  yang  harus  dilaksanakan, seperti  shalat,  zakat,  puasa,  dan  lain  sebagainya. Secara  umum  taat  kepada  Allah  berarti  berusaha  untuk  melaksanakan  perintah-perintah-Nya  dan  tidak  melanggar  larangan-larangan-Nya.  Sedangkan  taat  kepada Rasul-Nya   berarti   berusaha   melaksanakan   risalah   yang   diajarkan   dalam   artian meneladani perilaku Nabi Muhammad Saw. sebagai representasi bahwa beliau adalah uswatun hasanah (teladan baik).Dalam    upaya    menjalankan    ketaatan    tersebut,    Nabi    Muhammad    Saw. mewariskan  dua  hal  kepada  umatnya  yaitu  Al-Qur‟an dan hadis  yang  dapat  dijadikan sebagai pedoman. Al-Qur‟an sebagai kalam Allah Swt. telah diyakini keotentikannya seiring   dengan   proses   turunnya   yang   secara   mutawatir   kemudian   ditulis   dan dihafalkan oleh para sahabat. Ditambah lagi Allah Swt. sebagai pemilik wahyu yang senantiasa memelihara al-Qur’an.[25]

 

2.      MENGHIDUPKAN SUNNAH

Menghidupkan Sunnah bermakna mengembalikannya kembali hidup jika ditemukan ia sedang mati suri. Di dalam Kitab Faidhul Qadhir, Syarah Sunan Ibnu Majah, dijelaskan bahwa menghidupkannya bermakna memahami petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang manusia dari menyelisihinya. Adapun yang disebut dengan Sunnah (secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Dikutip dari karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluumil Hadiits) adalah seluruh perkataan Nabi Muhammad Saw., perbuatannya dan ketetapannya atas segala sesuatu. Akan datang senantiasa masa dan kesempatan bagi manusia untuk menghidupkannya agar Allah melihat siapa di antara hambaNya yang mencintai Sunnah.

Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an, tepat pada hari Ahzab, di kala manusia saat itu berada dalam kegoncangan jiwa, gelisah, gusar dan bimbang, mengingatkan mereka bagaimana kesabaran Nabi Saw, keteguhannya, kepahlawanannya, perjuangannya, dan kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Saw.

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا  ٢١

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

 

Di dalam ayat ini, Allah Swt. menggambarkan bahwa manusia hidup membutuhkan keteladanan, dan sebaik-baik keteladanan adalah jika ia mengambilnya dari Rasulullah Saw. Namun, Allah juga menegaskan, bahwa tidak akan mungkin ada manusia yang mau menjadikannya teladan kecuali bahwa manusia tersebut adalah dari golongan orang-orang yang sangat mengharapkan turunnya rahmat Allah Swt di dunia dan di akhirat, dan sehingga dia pun banyak menyebut-nyebut nama Allah. Pada saat itulah ia sedang berada dalam jalan keselamatan, jalan yang lurus (shirat al-mustaqim), dan bahwa kecintaannya kepada Allah Swt ternyata mengharuskannya mengambil sebaik-baik teladan untuk kehidupannya dan itu ada pada diri Rasulullah Saw. Maka kita semakin memahaminya ketika Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang mencontoh Rasulullah dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.

 

3.      MEMBACA SHOLAWAT DAN SALAM

Pribadi Muhammad Saw yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya kaum Muslim tapi bagi seluruh   umat   manusia.   Kejujuran,   keadilan,   kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan manusia  pada  seorang  yang  tidak  beragama  islam  sekalipun Nabi  Muhammad  Saw  akan  tetap  berlaku  adil  dan  bijaksana, akhlak Nabi Muhammad Saw yang agung ini telah memancar bagi  dan  keseluruh  alam.  Jika  kita  kaum  muslimin  meyakini Nabi     Muhammad     sebagai     Rasulullah     tentunya     kita mempunyai konsekuensi didalam mempertanggung jawabkan keyakinan  itu,  ini  berarti  kita  harus  mengikuti  suri  tauladan beliau  dalam  seluruh  sisi  kehidupan  kita. Salah  satunya  yaitu membacakan   shalawat   kepadanya   baik   pada   shalat-shalat yang kita laksanakan atau dalam kehidupan sehari-hari.Dalam  al-Qur‟an Allah Swt mengajarkan kepada kita tentang  keagungan  dan  kemuliaan  Nabi  Muhammad  Saw ketundukan    sempurna    dan    total    dalam    cinta    kepada Rasulullah   Saw   merupakan   syarat   mutlak   guna   meraih keberhasilan  dalam  perjalanan  ruhani,  Allah  Swt  dan  para malaikatnya  terus  menerus  menyampaikan  shalawat  kepada Nabi Saw.1Diantara Hak RasulullahSaw yang disyariatkan Allah Swt  atas  umatnya  adalah  mengucapkan  shalawat  dan  salam bagi  beliau.  Sebab  shalawat  merupakan  jalinan  kasih  sayang Rasulullah   Saw   kepada   Allah   Swt.   Dan   juga   sebagian ungkapan rasa syukur kita kepada Rasulullah Saw atas segala jasa  dan  pengorbanannya  yang  telah  menuntun  kita  ke  jalan yang  benar.  Shalawat  adalah  pengingat  akan  keistimewaan Rasulullah  Saw.  Dalam  kehidupan ini  selain  rasa syukur  kita kepada Allah Swt semakin banyak kita bershalawat, semakin bertambah  cinta  kita  kepada  Rasulullah  Saw  dan  tentu  Allah Swt. Juga akan mencintai kita.Shalawat  menurut  bahasa  berasal  dari  kata  shalaat, bentuknya  tunggal  adalah  shalaat  dan  bentuk  jamaknya  yaitu shalawaat    yang    berarti    doa,    keberkahan,    kemuliaan, kesejahteraan,  dan  ibadah  untuk mengingat  allah  Swt  secara terus   menerus.   Sedangkan   secara   istilah   shalawat   adalah rahmat   yang   sempurna,   kesempurnaan   atas   rahmat   bagi kekasihnya.  Disebut  sebagian  rahmat  yang  sempurna  karena tidak ”diciptakan” shalawat,  kecuali  hanya  kepada  Rasulullah Saw.  Allah  Swt  dan  para  malaikat-Nya  telah  bershalawat kepada   Rasulullah   Saw.   Diantara   hak   Nabi   Saw   yang disyariatkan    Allah    atas    umatnya    adalah    agar    mereka mengucapkan  shalawat  dan  salam  untuk  beliau.    Shalawat disisi   Allah   adalah   menuju   kepada-Nya   untuk   mengakui ketuhanan-Nya,  ke  Esaan-Nya,    dan  ketiada  bandingan-Nya, dengan   ibadah,   minta   pertolongan   serta   mohon   petunjuk untuk  melalui  jalan  sulit  sehingga  setiap  langkah  merupakan kenikmatan     ridha-Nya.     Shalawat     dari     Allah     berarti diterimanya  pendekatan.  Sedangkan dari hamba adalah do‟a dan   ketundukan   kepada   keagungan    Allah.   Allah   Swt. Berfirman dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat 56 :

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا  ٥٦

Allahdan  malaikat-malaikatNya  bershalawat  untuk  nabi. Hai  orang-orang  beriman,  bershalawatlah  kamu  untuk  Nabi ucapkanlah   salam   penghormatan   kepadanya.”

Dalam Shahih Muslim 616: Telah menceritakankepada kami  Yahya bin  Ayyub,  Qutaibah  dan  Ibnu  Hujr  mereka  berkata:  telah menceritakankepada  kami  Ismail,  yaitu  Ibnu  Ja'far  dari  al-'Ala'  dari  bapaknya  dari  Abu  Hurairah  bahwa  Rasulullah shallalahu    'alaihi    wa    sallam    bersabda,    "Barangsiapabershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadnya sepuluh kali."

Hadis di atas shahih, menunjukkan bahwa siapa saja yang bershalawat  kepada  Nabi  sekali  maka  Allah  akan  membalas shalawatnya   sepuluh   kali   dan   Allah   akan   memberikan shalawat  yang  akan  di  lipatgandakan  karena  satu  kebaikan dibalas dengan sepuluh yang semisal.

4.      MENCINTAI RASULULLAH

Sebagian Muslim mengaku paling mencintai Nabi karena selalu merayakan kelahirannya. Sebagian yang lain mengaku paling mencintai karena selalu melaksanakan sunahnya. Mereka tentu jauh lebih baik dari orang yang tidak mencintai Nabi, tidak merayakan kelahirannya, dan tidak pula melaksanakan sunahnya.

Di luar Muslim, ada beberapa orang yang menghina, menuduh penipu, pembohong, gila seks karena memiliki banyak istri, rakus harta, serta banyak tuduhan dan penghinaan lainnya. Penghinaan terhadap beliau tidak hanya berlangsung saat ini saja.

Ketika beliau masih hidup pun, jauh lebih parah dan menyakitkan. Namun ada pula yang mengakui kemuliaan akhlaknya, mengagumi sikap kepemimpinannya, kelembutan hati Nabi, bahkan menempatkannya sebagai “Top One”, orang paling berpengaruh di dunia.

Jika seorang Muslim mencintai sang Nabi, harus membuktikan kecintaannya tersebut. Bukti cinta kepada Nabi, di antaranya, pertama, berkeinginan kuat untuk bertemu dan berkumpul bersama Nabi.

Bagi Muslim generasi setelah sahabat termasuk generasi sekarang yang tidak memiliki kesempatan bertemu dengan sang Nabi mesti berharap agar dikumpulkan bersama Nabi di Jannah Firdaus yang Allah SWT janjikan kepada orang-orang saleh dan muttaqin. Yakni, dengan cara melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Kedua, menaati beliau dengan menjalankan sunahnya dan mengikuti setiap ajarannya. Allah SWT menegaskan, dengan menaati Nabi, berarti telah menaati Allah. Melaksanakan sunah Nabi memiliki keistimewaan dan memberi kebahagiaan tersendiri. Selain merasa dekat dengan Nabi, secara saintis sunah-sunah Nabi memiliki efek menyehatkan.

Shalat Tahajud misalnya, sebuah penelitian membuktikan bahwa aktivitas selepas bangun tidur pada waktu sepertiga malam (kira-kira pukul 02.00 sampai pukul 04.00) dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan. Shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tak mudah terserang penyakit.

Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).

Ketiga, memperbanyak shalawat kepadanya. Nabi bersabda, “Barang siapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR Muslim). Allah SWT senantiasa melindungi dan merahmati mereka yang bershalawat kepada Nabi. Bahkan dengan memperbanyak shalawat, mempermudah setiap urusan duniawi.

Keempat, mencintai orang-orang yang dicintai Nabi. Jika Nabi mencintai para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll, serta para istri dan keturunannya, sudah sepatutnya seorang Muslim mencintai mereka pula.

Kelima, mengikuti akhlaknya. Tidak dimungkiri bahwa Nabi SAW memiliki akhlak yang mulia. Firman Allah SWT dalam QS al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak yang agung.” Salah satu tugas Nabi diutus, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Bukhari)

Bukti-bukti cinta ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim. Keluhuran akhlak beliau dapat menjadi standar dasar akhlak yang harus dimiliki. Dengan menunjukkan bukti mencintai Nabi, semoga kelak dikumpulkan bersamanya di jannah Allah nanti. Wallahu a’lam.



[1] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. Ilmu Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 7

[2] Ahmad  Warson  Al-Munawwir, Kamus   Al-Munawwir   Arab-Indonesia   Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), Hlm. 1579

[3] Mahmud Yunus, Kamus  Arab  Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 1973), Hlm. 506

[4] W.J.S.  Poerwadarminta, Kamus  Umum  Bahasa  Indonesia,  (Jakarta:  PN  Balai  Pustaka, 1976), Cet. 5, Hlm. 1026

[5] Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hal. 53)

[6]Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)

[7]Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]

[8]Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Taubat Surga Pertama Anda (Jakarta: Pustaka ImamAsy-Syafi’I, 2007), hal. 9

[9]Idrus Abidin, 1000 jalan Menuju Taubat (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2013), hal. 4-5

[10]Muhammad  Huda, Hadis  Tentang  Taubat  Dari  Suatu  Dosa  tetapi  Masih  Melakukan Dosa Yang Lain(UIN Sunan Kalijaga), hlm. 4

[11] Sisa  Rahayu,  Konsep  Taubat  Menurut  Syekh  Abdul  Qadir  Al-Jailani  Dalam  Tafsir  al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137

[12] Sisa Rahayu,  Konsep Taubat Menurut Syekh  Abdul Qadir  Al-Jailani Dalam Tafsir al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137

[13] Muhammad  Huda, Hadis  Tentang  Taubat  Dari  Suatu  Dosa  tetapi  Masih  Melakukan Dosa Yang Lain(UIN Walisongo), hlm. 24

[14]In’ammuzahiddin Masyhudi, Nurul Wahyu A, Berdzikir dan Sehat ala Ustad Haryono, Semarang:  Syifa Press, 2006, hlm. 7

[15] M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa Solusi Tasawuf Atas Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm, 16

 

[16] M. Afif Anshori, loc.cit.

[17] Abdul Halim Mahmud, Terapi Dengan Dzikir Mengusir Kegelisahan & Merengkuh Ketenangan Jiwa, Misykat (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004,  hlm, 78-79.

[18] Muh Luthfi Ghozali, Percikan Samudra Hikam, jilid 1, ABSHOR, Semarang, 2006, hlm, 183-184

 

 

[19] Moh Saefullah al-Aziz, Op.cit, hlm, 194 -195

[20] Abdullah  Muhammad  El-Khabani, Spirit Do’a Nabi Menguak Rahasia Terbesar Do’a Nabi SAW (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), 1.

[21] Imam   Musbikin, Terapi   Shalat   Tahajud   bagi   Penyembuhan   Kanker (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 156.

[22] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Pedoman Dzikir dan Do’a(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 93.

[23] Abu Khansa al-Luwuky, Agar Doamu Dikabulkan (Jakarta: Iskandar Kato, 2008), 8

[24] Musbikin, Terapi   Shalat   Tahajud   bagi   Penyembuhan   Kanker (Yogyakarta:   Mitra Pustaka, 2003), 28-29.

[25] Abdullah Karim, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Banjarmasin: Kafusari Press, 2011), 66

ORDER VIA CHAT

Produk : Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul

Harga :

https://www.abufariz.com/2021/01/makalah-tentang-akhlak-kepada-allah-dan.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Diskusi