Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul
Makalah Tentang Akhlak Kepada Allah dan Rasul
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ajaran Islam yang bersifat universal harus bisa diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat, berbangsa dan bernegara secara maksimal. Penerapan tersebut tentu terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban kita sebagai seseorang hamba kepada Allah SWT, rasul-Nya, manusia dan lingkungannya. Khusus penerapan akhlak ( hak dan kewajiban ) seorang hamba kepada Allah terlihat dari pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup yang dipenuhi dengan kesadaran tauhid kepada Allah SWT, Hal itu bisa dibuktikan dengan berbagai perbuatan amal Shaleh, ketakwaan, ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT secara ikhlas. Untuk itulah dalam menata kehidupan, diperlukan norma dan nilai, diperlukan standar dan ukuran untuk menentukan secara obyektif apakah perbuatan dan tindakan yang dipilih itu baik atau tidak, benar atau salah, sehingga yang dilihat bukan hanya kepentingan diri sendiri, melainkan juga kepentingan orang lain, kepentingan bersama, kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Dan untuk itulah setiap individu dituntut memiliki komitmen moral, yaitu spiritual pada norma kebajikan dan kebaikan. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kita sebagai hamba memiliki pengetahuan bagaimana cara menerapkan Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kata “akhlak“, artinya telah berbuat, menciptakan, atau mengambil keputusan untuk bertindak. Secara ter monologis, akhlak adalah tindakan yang tercermin pada akhlak Allah SWT, yang salah satunya dinyatakan sebagai pencipta manusia dari segumpal darah; Allah SWT Sebagai sumber pengetahuan yang melahirkan kecerdasan manusia, pembebasan dari kebodohan, serta peletak dasar yang paling utama dalam pendidikan. Selanjutnya istilah akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita, mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak“ karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan, kata “akhlak” masih perlu untuk diartikan secara bahasa maupun istilah. Dengan demikian, pemahaman terhadap kata “ akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang setiap hari kita dengar, tetapi sekaligus dipahami secara filosofis, terutama makna subtansialnya. Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu Jama’ dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab, dan tindakan. Kata “ akhlak “ juga berasal dari kata “khlaqa“ atau “khalqun“,artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq“, artinya menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-Khaliq“,artinya pencipta atau dan “makhluq“, artinya yang diciptakan.
Konsep akhlak dalam Al-Qur’an, salah satunya dapat diambil dari pemahaman terhadap surat Al-Alaq ayat 1-5 :
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat diatas secara tekstual menyatakan perbuatan Allah SWT dalam menciptakan manusia sekaligus membebaskan manusia dari kebodohan.
Menurut Ibn Miskawaih (w.421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara Imam Al-Ghazali (1015-1111 M), yang dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam) karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan. lebih luas, mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[1]
Sedangkan menurut Barmawi Umar bahwa pertama, ilmu akhlak berfungsi untuk mengetahui batas antara baik dan buruk, dapat pula menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu menempatkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya. Kedua, berakhlak dapat memperoleh irsyad, taufiq dan hidayah, sedemikian sehingga kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam agama Islam kita dapat mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam penerapan Akhlak kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab’ ayat 21 :
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
B. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dan manfaat kita mempelajari Akhlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya diantaranya adalah :
1. Melaksanakan kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT.
2. Menambah keimanan kita kepada Alah SWT dan Rasul-Nya
3. Dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
4. Memberikan panduan kepada kita dalam melakukan setiap perbuatan di dunia
5. Membersihkan kalbu dari kotoran hawa nafsu, dosa dan maksiat, sehingga menjadi suci bersih. manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melaluifiqih, sedangkan rohani dibersihkan secara batiniah melalui akhlak.
C. RUANG LINGKUP
Penerapan Akhlak kepada Allah dan Rasulnya sudah sangat wajib kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam makalah ini penulis akan berfokus pada :
1. Akhlak kepada Allah SWT meliputi :
a. Tawakkal
b. Syukur
c. Haya
d. Taubat
e. Berzikir, dan
f. Berdo’a
2. Akhlak kepada Rasul-Nya meliputi :
a. Taat kepada Rasul,
b. Menghidupkan sunnah,
c. Membaca Sholawat,
d. Mencintai rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN
A. AKHLAQ KEPADA ALLAH SWT
1. TAWAKKAL
Dalam kamus Al-Munawwir, disebut ل على ﷲّ توك (bertawakal, pasrah kepada Allah)[2]. Dalam Kamus Arab Indonesia karya Mahmud Yunus, ل على ﷲّ توك - ل توك (menyerahkan diri, tawakkal kepada Allah SWT)[3]. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, tawakal berarti berserah (kepada kehendak Tuhan), dengan segenap hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan dan lain-lain[4]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah dan percaya sepenuh hati kepada Allah SWT.
Menurut ajaran Islam, tawakal itu adalah landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan. Lalu berserah diri kepada Allah setelah menjalankan ikhtiar. Itulah sebabnya meskipun tawakal diartikan sebagai penyerahan diri atau ikhtiar sepenuhnya kepada Allah SWT, namun tidak berarti orang yang bertawakal harus meninggalkan semua usaha dan ikhtiar. Sangat keliru bila orang menganggap tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Allah tanpa diiringi dengan usaha maksimal. Usaha dan ikhtiar itu harus tetap dilakukan, sedangkan keputusan terakhir diserahkan kepada Allah SWT, di dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 Allah SWT menegaskan:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita liat beberapa ciri orang yang bersyukur, diantaranya :
a. Mujahadah
Sebagai seorang mukmin dan muslim dianjurkan untuk memiliki akhlak yang baik. Salah satunya tawakal. Guna terciptanya sosialisasi yang tenteram, tenang, dan damai. Tawakal bukan hanya sekadar merasakan segala perkara kepada Allah Ta ‘ala, tetapi diawali dengan usaha-usaha ataupun jalan-jalannya yang kuat. Setelah itu serahkan hasilnya kepada Allah Ta ‘ala. Di antara ciri orang yang bertawakal ialah memiliki semangat yang kuat. Mempunyai semangat yang kuat merupakan salah satu akhlak orang mukmin yang dianjurkan oleh Islam.
b. Bersyukur
Ciri lain orang yang bertawakal ialah ia senantiasa bersyukur kepada Allah Ta'ala. Apabila ia sukses ataupun berhasil dalam segala urusan ataupun ia mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan ia tak luput untuk senantiasa bersyukur kepada Allah Ta'ala, karena ia menyadari dan meyakini bahwa semua yang ia dapatkan itu adalah takdir Allah dan kehendak-Nya. Dengan bersyukur pula ia akan selalu merasa puas, senang dan bahagia.
c. Bersabar
Ciri orang yang bertawakal selanjutnya ialah selalu bersabar. Sebagai orang mukmin yang bertawakal kepada Allah Ta'ala ia akan bersabar, baik dalam proses maupun dalam hasil. Karena dengan inilah ia akan bahagia dan tenang atas apa yang di terimanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya sebagai berikut: "Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang terkena ujian dan cobaan dia bersabar." (HR. Ahmad dan Abu dawud)
d. Intropeksi Diri (Muhasabah)
Orang yang bertawakal salah satu sikapnya ialah intropeksi diri. Dimana ia akan intropeksi diri apabila ia kurang sukses dalam menjalankan sesuatu ia tidak membuat dirinya "drop", melainkan ia selalu intropeksi pada diri, dapat dikatakan muhasabah. Senantiasa mengoreksi apa yang telah dilakukannya. Setelah itu ia akan berusaha menghindari faktor penyebab suatu kegagalan tersebut serta senantiasa memberikan yang terbaik pada dirinya.
2. SYUKUR
Syukur berarti terima kasih kita kepada Allah SWT, dan penggakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikannya. Nikmat yang diberikan sangat banyak dan bentuknya bermacam-macam, di setiap detik yang dilalui manusia tidak pernah lepas dari nikmat Allah, nikmatnya sanggat besar. Sehingga manusia tidak akan dapat menghitungnya.
Sejak manusia lahir dengan keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian diberikan pendengaran , penglihatan dan hati damai meninggal dunia menghadap Allah di akhirat kelak dan ia tidak akan lepas dari nikmat Allah. Sementara balasan yang dijanjikan Allah SWT apabila hambanya mensyukuri nikmat-Nya, adalah kenikmatannya akan ditambah dan dilipat gandakan nikmat – nikmatnya yang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al – Quran Surah Ibrahim ayat 7:
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Bersyukurlah kepada-Ku niscaya akan aku tambah nikmatnya, tapi jika tidak bersyukur sesungguhnya azabku teramat pedih."
Orang yang selalu bersyukur ia akan selalu mengingat Allah SWT dalam berdiri, duduk, sampai dalam keadaan tertidur, dari bangun tidur sampai tidur lagi ia akan selalu berzikir, dan tidurnya pun untuk mengumpulkan energi untuk bersyukur atas nikmat Allah SWT. Inilah hakikat syukur dari hati, akal, lisan dan jasad sebenarnya.
3. HAYA
Haya atau malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[5] Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Perasaan malu didalam hati dikala akan melanggar larangan agama, malu kepada tuhan bahwa jika ia mengerjakan kekejian akan mendapat siksa yang pedih. perasaan ini menjadi pembimbing jalan menuju keselamatan hidup, perintis mencapai kebenaran dan alat yang menghalangi terlaksananya perbuatan yang rendah. Orang yang memiliki sifat ini, semua anggotanya dan gerak geriknya akan senantiasa terjaga dari hawa nafsu, karna setiap ia akan mengerjakan perbuatan yang rendah, ia tertegun, tertahan dan akhirnya tiada jadi, karna desakan malunya, takut mendapat nama yang buruk, takut menerima siksaan Allah swt kelak di akhirat. Tetapi janganlah malu itu hanya kepada manusia saja, maka berbuat yang baik kalau diketahui manusia tetapi kalau ditempati sunyi ia berbuat buruk sebab orang tiada melihat. Maka hendaknya malu terhadap makhluk, juga lebih-lebih lagi malu terhadap sang pencipta.
Sebagai seorang muslim, kita harus memiliki rasa malu ini, karena malu ini memiliki keutamaan, diantaranya :
a) Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
b) Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan”.
c) Allah SWT cinta kepada orang-orang yang malu.
d) Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[6]
e) Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu”.[7]
f) Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
4. TAUBAT
Taubat secara epistemologi (bahasa), taubat berasal dari kata kerja (taaba) yang terbentuk dari huruf (ta), (wau) dan (ba), menjadi (tawaba), makna kata ini berkisar kepada pulang kembali, dan penyesalan.[8] Sedangkan menurut istilah agama dijumpai beragam pengertian yang prinsipnya bermuara pada satu makna, yaitu kembali pada ajaran agama Islam, Muhammad bin Ka’b Al-Qarzhi berkata, ”tobat itu diungkapkan oleh empat hal, yaitu beristigfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati tidak mengulanginya kembali serta meninggalkan sahabat-sahabat yang buruk.[9]
Taubat adalah penyesalan yang melahirkan kesungguhan tekad dan niat untuk kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan. Hakikatnya adalah menyesali dimasa lalu, dan meninggalkannya dimasa sekarang, serta bertekad untuk bersungguh-sungguh tidak mengulanginya kembali dimasa mendatang. Ketiga hal ini terhimpun pada waktu terjadinya taubat. Pada waktu tersebut dia menyesal, meninggalkan dan bersungguh-sungguh bertekad. Saat itu dia juga kembali pada penghambaan kepada sang pencipta. Kembali ini merupakan hakikat taubat.
Taubat adalah langkah awal, langkah tengah, dan langkah akhir. Artinya, seorang hamba yang menemukan jalan akan senantiasa bertaubat, tak pernah tinggal sampai dia mati. Dan apabila dia pindah ke tempat lain, taubat pun ikut bersamanya dan selalu menyertainya. Jadi taubat merupakan langkah pemula bagi seseorang hamba dan juga langkah akhir.
Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah swt. disertai keteguhan melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Kembali dari kemaksiatan dan keburukan kepada kebaikan, dari jalan setan kepada jalan Allah swt.4Taubat bukan hanya dilakukan bagi mereka yang telah melakukan perbuatan dosa. Akan tetapi taubat dilakukan manakala telah meninggalkan kebaikan yang diperintahkan merupakan suatu kewajiban. Maka taubat adalah salah satu perintah agama yang harus dilakukan oleh manusia. Sebagaimana dalam Alquran terdapat banyak ayat-ayat tentang perintah untuk bertaubat, diantaranya terdapat dalam QS. at-Tahrim ayat 8 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Dalam menjalankan perintah untuk bertaubat, manusia harusnya mengetahui konsep taubat itu sendiri secara komprehensif, karena dalam realita kehidupan manusia, banyak terjadi pelaksanaan taubat secara tidak optimal.[10]
Menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani taubat yaitu kembali dengan penyesalan dan keikhlasan atas dosa yang telah kita lakukan serta menjauhi dari dosa yang akan datang, membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang berkaitan dengan lainnya serta menghiasi taubatnya dengan ketakwaan yang murni kepada Allah swt.[11]Sedangkan menurut Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa taubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib. Wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, baik itu dosa kecil apalagi dosa besar.”[12]Taubat adalah wajib secara langsung, karena meninggalkan kemaksiatan adalah wajib secara berkesinambungan dan sebab yang mewajibkan taubat adalah agar kita taat, sebab perbuatan dosa menghalangi untuk berbuat kebaikaan, menghilangkan ketauhidan serta berkhidmat kepada Allah swt. Terus menerus berbuat dosa membuat hati menjadi kelam dan keras, tidak ada kebersihan dan kejernihan, tidak akan pernah ikhlas dalam beribadah, selain itu yang mewajibkan taubat adalah agar ibadah diterima oleh Allah swt. karena taubat merupakan inti dari dasar untuk diterimanya ibadah dan kedudukan seolah-olah hanya tambahan.[13]
5. BERZIKIR
Secara etimologi, perkataan zikir berakar pada kata ذَكَرَ، يَذْكُرُ، ذِكْرًا artinya mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti dan ingatan. Di dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa istilah Dzikri memiliki Multi interpretasi, di antara pengertian-pengertian zikir adalah menyebut, menuturkan, mengingat, menjaga, atau mengerti perbuatan baik.[14] Dalam kehidupan manusia unsur ”ingat” ini sangat dominan adanya, karena merupakan salah satu fungsi intelektual. Menurut pengertian psikologi, zikir (ingatan) sebagai suatu ”daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan memproduksi kembali pengertian atau tanggapan-tanggapan kita.”[15]
Sedangkan zikir dalam arti menyebut Nama Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wirid atau aurad. Dan amalan ini termasuk ibadah murni (mahdhah), yaitu ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah SWT. Sebagai ibadah Mahdhah maka dzikir jenis ini terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah, yaitu harus ma’tsur (ada contoh atau perintah dari Rasulullah Saw).
Secara terminologi definisi zikir banyak sekali. Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan zikir adalah ingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, ke-Maha Sucian-Nya, ke-Maha ke-Terpujian-Nya dan ke-Maha Besaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang bisa diungkapkan melalui ucapan Tahlil (La Ilaha illa Allah, Artinya, Tiada Tuhan Selain Allah), Tasbih (Subhana Allah, Artinya Maha Suci Allah), Tahmid (Alhamdulillah, Artinya Segala Puji Bagi Allah), dan Takbir (Allahu Akbar, Artinya Allah Maha Besar).
Dzikir sebagai fungsi intelektual, ingatan kita akan apa yang telah dipelajari, informasi dan pengalaman sebelumnya, memungkinkan kita untuk memecahkan problem-problem baru yang kita hadapi, juga sangat membantu kita dalam melangkah maju untuk memperoleh informasi dan menerima realitas baru. Namun dalam pengertian disini, pengertian yang dimaksud adalah ”Dzikir Allah”, atau mengingat Allah.[16]
Imam Nawawi berkata, “zikir dilakukan dengan lisan dan hati secara bersama-sama. Kalau hanya salah satu saja yang berdzikir, maka dzikir hati lebih utama. Seseorang tidak boleh meninggalkan dzikir lisan hanya karena takut riya. Berdzikirlah dengan keduanya dan niatkan hanya mencari ridha Allah semata. Suatu hari saya mengunjungi Al-Fadhil untuk menanyakan orang yang meninggalkan amal perbuatan karena takut riya dihadapan manusia. Beliau menjawab, ”kalau seseorang menyempatkan diri memperhatikan tanggapan orang lain padanya, berhati-hati atas persangkaan jelek mereka, maka pintu-pintu kebaikan tidak terbuka lebar untuknya. Ia telah menghilangkan bagian agama yang sangat vital. Ini bukan jalan yang ditempuh orang-orang bijak”.[17]
Hal ini dengan simpel dan sederhana di sampaikan syaikh Ibnu Athaillah ra. Beliau berkata : ”janganlah engkau tinggalkan dzikir semata-mata karena tidak adanya kehadiran hatimu bersama Allah di dalamnya. Sebab kelalaian hatimu (kepada Allah) tanpa adanya dzikir adalah lebih berbahaya daripada kelalaian hatimu di dalam dzikir. Barangkali Allah akan mengangkatmu dari dzikir yang lalai menuju dzikir dengan sadar, dari dzikir yang sadar menuju dzikir yang hadir, dari dzikir yang hadir kepada dzikir dengan hilangnya selain dzikir yang di-dzikiri.” Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah”. QS:14/20.[18]
Menurut ahli tashawwuf, dzikir itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Dzikir lisan atau disebut juga dzikir nafi isbat, yaitu ucapan La Ilaaha Illallah. Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari Allah dan mengisbatkan Allah. Dzikir nafi isbat ini dapat juga disebut dzikir yang nyata karena ia diucapkan dengan lisan secara nyata, baik dzikir bersama-sama maupun dzikir sendirian.
b. Dzikir qalbu atau hati, disebut juga dzikir: Asal dan kebesaran, ucapannya Allah, Allah. Dzikir qalb ini dapat juga disebut dzikir ismu dzat karena ia langsung berdzikir dengan menyebut nama Dzat.
c. Dzikir sir atau rahasia, disebut juga dzikir isyarat dan nafas, yaitu berbunyi : Hu, Hu. Dzikir ini adalah makanan utama sir (rahasia). Oleh karena itu ia bersifat rahasia, maka tidaklah sanggup lidah menguraikannya, tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya.[19]
6. BERDO’A
Ditinjau dari segi Psikologi Islam, doa salah satu sarana bertaqarrub, memelihara iman dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah.Sebagai bentuk penghambaan seseorang kepada Tuhan-Nya dan menyatakan bahwa dirinya tiada memiliki daya kuasa.[20] Manusia dapat mengadukan segala keluh kesah ataupun kebahagiaannya melaluidoa, karena doa suatu fitrah manusia yang tidak dapat kita pungkiri.[21] Sebagaimana makhluk Tuhan, manusia bebas berdoa apa pun dan kapan pun. Akan tetapi, kebebasan manusia dalam berdoakepada Allah inilah yang membuat manusia lupa apa fungsi doa itu sebenarnya.[22] Dalam Islam, fungsi doa dipahami sebagai ungkapan syukur, sebagai ungkapan penyesalan, sebagai permohonan, dan mempunyai peranan sangat pentinguntuk penyembuhan, yang dibutuhkan oleh setiap orang. Nasution mengatakan dilihat darisudut kejiwaan (psikologi), doa mempunyai pengaruh terhadap pengembangan rohaniah, membuat rohaniah semakin tenang dan kuat, mampu dan mempunyai daya tahan membendung desakan-desakan keinginan jasmaniah.[23] Salah satu kunci sukses dalam berdoa adanya optimisme dalam hati bahwa apa yang diminta akan dikabulkan oleh Allah Swt. Seorang hamba benar-benar meyakini bahwa apa yang diminta kepada Allah SWT hal yang memang dibutuhkannya. Sebab pengabulan Allah Swt sesuai dengan permintaan hamba-Nya.7Sehingga dengan doa, manusia akan selalu merasa memiliki kesempatan untuk meraih sesuatu. Inilah yang mendatangkan rasa optimisme dalam kehidupannya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/1: 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ ١٨٦
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
Sikap optimisme sangatlah penting dalam kehidupan, karena orang yang optimis itu selalu berpikir positif dalam suatu keadaan. Orang berdoa dengan bersikap optimis penuh prasangka baik (husnuzhan) kepada Allah Swt. Salah satu etika yang harus dilakukan dalam berdoa adalah optimisme. Islam mengajarkan etika agar meminta dan berharap akan perkara-perkara yang besar, seperti penyembuhan suatu penyakit. Namun, tidak semua harapan diutarakan, tetapi meminta agar merasa cukup adalah lebih baik. Sederhananya, tidak setiap kebutuhan dan harapan layak untuk dijadikan permintaan dalam berdoa. Begitulah semangat optimisme berdoa yang harus dibangun sehingga nuansa berdoa tidak hilang karena pesimisme atau karena kecilnya permintaan-permintaan hambanya. Orang yang optimis mampu melihat kesempatan diantara begitu banyak kesempitan. Sedangkan orang yang pesimis melihat begitu banyak kesempitan diantara semua kesempatan.[24]
B. AKHLAQ KEPADA RASUL ALLAH SWT
1. TAAT KEPADA RASUL
Islam mengajarkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada banyak bentuk ketaatan yang harus dilaksanakan, seperti shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Secara umum taat kepada Allah berarti berusaha untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-larangan-Nya. Sedangkan taat kepada Rasul-Nya berarti berusaha melaksanakan risalah yang diajarkan dalam artian meneladani perilaku Nabi Muhammad Saw. sebagai representasi bahwa beliau adalah uswatun hasanah (teladan baik).Dalam upaya menjalankan ketaatan tersebut, Nabi Muhammad Saw. mewariskan dua hal kepada umatnya yaitu Al-Qur‟an dan hadis yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Al-Qur‟an sebagai kalam Allah Swt. telah diyakini keotentikannya seiring dengan proses turunnya yang secara mutawatir kemudian ditulis dan dihafalkan oleh para sahabat. Ditambah lagi Allah Swt. sebagai pemilik wahyu yang senantiasa memelihara al-Qur’an.[25]
2. MENGHIDUPKAN SUNNAH
Menghidupkan Sunnah bermakna mengembalikannya kembali hidup jika ditemukan ia sedang mati suri. Di dalam Kitab Faidhul Qadhir, Syarah Sunan Ibnu Majah, dijelaskan bahwa menghidupkannya bermakna memahami petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang manusia dari menyelisihinya. Adapun yang disebut dengan Sunnah (secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Dikutip dari karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, Mabaahits fii ‘Uluumil Hadiits) adalah seluruh perkataan Nabi Muhammad Saw., perbuatannya dan ketetapannya atas segala sesuatu. Akan datang senantiasa masa dan kesempatan bagi manusia untuk menghidupkannya agar Allah melihat siapa di antara hambaNya yang mencintai Sunnah.
Allah Swt berfirman di dalam Al-Qur’an, tepat pada hari Ahzab, di kala manusia saat itu berada dalam kegoncangan jiwa, gelisah, gusar dan bimbang, mengingatkan mereka bagaimana kesabaran Nabi Saw, keteguhannya, kepahlawanannya, perjuangannya, dan kesabarannya dalam menanti pertolongan dari Rabb-nya Saw.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Di dalam ayat ini, Allah Swt. menggambarkan bahwa manusia hidup membutuhkan keteladanan, dan sebaik-baik keteladanan adalah jika ia mengambilnya dari Rasulullah Saw. Namun, Allah juga menegaskan, bahwa tidak akan mungkin ada manusia yang mau menjadikannya teladan kecuali bahwa manusia tersebut adalah dari golongan orang-orang yang sangat mengharapkan turunnya rahmat Allah Swt di dunia dan di akhirat, dan sehingga dia pun banyak menyebut-nyebut nama Allah. Pada saat itulah ia sedang berada dalam jalan keselamatan, jalan yang lurus (shirat al-mustaqim), dan bahwa kecintaannya kepada Allah Swt ternyata mengharuskannya mengambil sebaik-baik teladan untuk kehidupannya dan itu ada pada diri Rasulullah Saw. Maka kita semakin memahaminya ketika Al Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang mencontoh Rasulullah dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.
3. MEMBACA SHOLAWAT DAN SALAM
Pribadi Muhammad Saw yang sempurna ini merupakan teladan hidup tidak hanya kaum Muslim tapi bagi seluruh umat manusia. Kejujuran, keadilan, kebenaran, kebaikan dan kasih sayangnya merambah pada semua lapisan manusia pada seorang yang tidak beragama islam sekalipun Nabi Muhammad Saw akan tetap berlaku adil dan bijaksana, akhlak Nabi Muhammad Saw yang agung ini telah memancar bagi dan keseluruh alam. Jika kita kaum muslimin meyakini Nabi Muhammad sebagai Rasulullah tentunya kita mempunyai konsekuensi didalam mempertanggung jawabkan keyakinan itu, ini berarti kita harus mengikuti suri tauladan beliau dalam seluruh sisi kehidupan kita. Salah satunya yaitu membacakan shalawat kepadanya baik pada shalat-shalat yang kita laksanakan atau dalam kehidupan sehari-hari.Dalam al-Qur‟an Allah Swt mengajarkan kepada kita tentang keagungan dan kemuliaan Nabi Muhammad Saw ketundukan sempurna dan total dalam cinta kepada Rasulullah Saw merupakan syarat mutlak guna meraih keberhasilan dalam perjalanan ruhani, Allah Swt dan para malaikatnya terus menerus menyampaikan shalawat kepada Nabi Saw.1Diantara Hak RasulullahSaw yang disyariatkan Allah Swt atas umatnya adalah mengucapkan shalawat dan salam bagi beliau. Sebab shalawat merupakan jalinan kasih sayang Rasulullah Saw kepada Allah Swt. Dan juga sebagian ungkapan rasa syukur kita kepada Rasulullah Saw atas segala jasa dan pengorbanannya yang telah menuntun kita ke jalan yang benar. Shalawat adalah pengingat akan keistimewaan Rasulullah Saw. Dalam kehidupan ini selain rasa syukur kita kepada Allah Swt semakin banyak kita bershalawat, semakin bertambah cinta kita kepada Rasulullah Saw dan tentu Allah Swt. Juga akan mencintai kita.Shalawat menurut bahasa berasal dari kata shalaat, bentuknya tunggal adalah shalaat dan bentuk jamaknya yaitu shalawaat yang berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah untuk mengingat allah Swt secara terus menerus. Sedangkan secara istilah shalawat adalah rahmat yang sempurna, kesempurnaan atas rahmat bagi kekasihnya. Disebut sebagian rahmat yang sempurna karena tidak ”diciptakan” shalawat, kecuali hanya kepada Rasulullah Saw. Allah Swt dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepada Rasulullah Saw. Diantara hak Nabi Saw yang disyariatkan Allah atas umatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Shalawat disisi Allah adalah menuju kepada-Nya untuk mengakui ketuhanan-Nya, ke Esaan-Nya, dan ketiada bandingan-Nya, dengan ibadah, minta pertolongan serta mohon petunjuk untuk melalui jalan sulit sehingga setiap langkah merupakan kenikmatan ridha-Nya. Shalawat dari Allah berarti diterimanya pendekatan. Sedangkan dari hamba adalah do‟a dan ketundukan kepada keagungan Allah. Allah Swt. Berfirman dalam Al Qur’an surah Al Ahzab ayat 56 :
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا ٥٦
Allahdan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Dalam Shahih Muslim 616: Telah menceritakankepada kami Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibnu Hujr mereka berkata: telah menceritakankepada kami Ismail, yaitu Ibnu Ja'far dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapabershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadnya sepuluh kali."
Hadis di atas shahih, menunjukkan bahwa siapa saja yang bershalawat kepada Nabi sekali maka Allah akan membalas shalawatnya sepuluh kali dan Allah akan memberikan shalawat yang akan di lipatgandakan karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh yang semisal.
4. MENCINTAI RASULULLAH
Sebagian Muslim mengaku paling mencintai Nabi karena selalu merayakan kelahirannya. Sebagian yang lain mengaku paling mencintai karena selalu melaksanakan sunahnya. Mereka tentu jauh lebih baik dari orang yang tidak mencintai Nabi, tidak merayakan kelahirannya, dan tidak pula melaksanakan sunahnya.
Di luar Muslim, ada beberapa orang yang menghina, menuduh penipu, pembohong, gila seks karena memiliki banyak istri, rakus harta, serta banyak tuduhan dan penghinaan lainnya. Penghinaan terhadap beliau tidak hanya berlangsung saat ini saja.
Ketika beliau masih hidup pun, jauh lebih parah dan menyakitkan. Namun ada pula yang mengakui kemuliaan akhlaknya, mengagumi sikap kepemimpinannya, kelembutan hati Nabi, bahkan menempatkannya sebagai “Top One”, orang paling berpengaruh di dunia.
Jika seorang Muslim mencintai sang Nabi, harus membuktikan kecintaannya tersebut. Bukti cinta kepada Nabi, di antaranya, pertama, berkeinginan kuat untuk bertemu dan berkumpul bersama Nabi.
Bagi Muslim generasi setelah sahabat termasuk generasi sekarang yang tidak memiliki kesempatan bertemu dengan sang Nabi mesti berharap agar dikumpulkan bersama Nabi di Jannah Firdaus yang Allah SWT janjikan kepada orang-orang saleh dan muttaqin. Yakni, dengan cara melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Kedua, menaati beliau dengan menjalankan sunahnya dan mengikuti setiap ajarannya. Allah SWT menegaskan, dengan menaati Nabi, berarti telah menaati Allah. Melaksanakan sunah Nabi memiliki keistimewaan dan memberi kebahagiaan tersendiri. Selain merasa dekat dengan Nabi, secara saintis sunah-sunah Nabi memiliki efek menyehatkan.
Shalat Tahajud misalnya, sebuah penelitian membuktikan bahwa aktivitas selepas bangun tidur pada waktu sepertiga malam (kira-kira pukul 02.00 sampai pukul 04.00) dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan. Shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tak mudah terserang penyakit.
Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, memperbanyak shalawat kepadanya. Nabi bersabda, “Barang siapa bershalawat atasku sekali, niscaya Allah bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR Muslim). Allah SWT senantiasa melindungi dan merahmati mereka yang bershalawat kepada Nabi. Bahkan dengan memperbanyak shalawat, mempermudah setiap urusan duniawi.
Keempat, mencintai orang-orang yang dicintai Nabi. Jika Nabi mencintai para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dll, serta para istri dan keturunannya, sudah sepatutnya seorang Muslim mencintai mereka pula.
Kelima, mengikuti akhlaknya. Tidak dimungkiri bahwa Nabi SAW memiliki akhlak yang mulia. Firman Allah SWT dalam QS al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak yang agung.” Salah satu tugas Nabi diutus, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR Bukhari)
Bukti-bukti cinta ini perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim. Keluhuran akhlak beliau dapat menjadi standar dasar akhlak yang harus dimiliki. Dengan menunjukkan bukti mencintai Nabi, semoga kelak dikumpulkan bersamanya di jannah Allah nanti. Wallahu a’lam.
[1] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. Ilmu Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 7
[2] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), Hlm. 1579
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Depag RI, 1973), Hlm. 506
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), Cet. 5, Hlm. 1026
[5] Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’ (hal. 53)
[6]Shahîh: HR.Muslim (no. 2401)
[7]Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940)]
[8]Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Taubat Surga Pertama Anda (Jakarta: Pustaka ImamAsy-Syafi’I, 2007), hal. 9
[9]Idrus Abidin, 1000 jalan Menuju Taubat (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2013), hal. 4-5
[10]Muhammad Huda, Hadis Tentang Taubat Dari Suatu Dosa tetapi Masih Melakukan Dosa Yang Lain(UIN Sunan Kalijaga), hlm. 4
[11] Sisa Rahayu, Konsep Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tafsir al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137
[12] Sisa Rahayu, Konsep Taubat Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tafsir al-Jaelani ( UIN Walisongo), hlm. 137
[13] Muhammad Huda, Hadis Tentang Taubat Dari Suatu Dosa tetapi Masih Melakukan Dosa Yang Lain(UIN Walisongo), hlm. 24
[14]In’ammuzahiddin Masyhudi, Nurul Wahyu A, Berdzikir dan Sehat ala Ustad Haryono, Semarang: Syifa Press, 2006, hlm. 7
[15] M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa Solusi Tasawuf Atas Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm, 16
[16] M. Afif Anshori, loc.cit.
[17] Abdul Halim Mahmud, Terapi Dengan Dzikir Mengusir Kegelisahan & Merengkuh Ketenangan Jiwa, Misykat (PT. Mizan Publika), Jakarta, 2004, hlm, 78-79.
[19] Moh Saefullah al-Aziz, Op.cit, hlm, 194 -195
[20] Abdullah Muhammad El-Khabani, Spirit Do’a Nabi Menguak Rahasia Terbesar Do’a Nabi SAW (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2009), 1.
[21] Imam Musbikin, Terapi Shalat Tahajud bagi Penyembuhan Kanker (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 156.
[22] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Pedoman Dzikir dan Do’a(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 93.
[23] Abu Khansa al-Luwuky, Agar Doamu Dikabulkan (Jakarta: Iskandar Kato, 2008), 8
[24] Musbikin, Terapi Shalat Tahajud bagi Penyembuhan Kanker (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 28-29.
[25] Abdullah Karim, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Banjarmasin: Kafusari Press, 2011), 66
Diskusi